Sekolah Bertaraf Internasional
Periode tahun 1995 sampai dengan 2005, aroma komersialisasi
pendidikan tercium sangat keras. Dengan meningkatnya pendapatan masyarakat
Indonesia, penyelenggara sekolah baik swasta maupun negeri, berebut kue belanja
pendidikan masyarakat. Untuk memikat orang tua, penyelenggara pendidikan
menggunakan beberapa strategi. Bagi sekolah internasional yang berasal dari embassy school, dengan cepat mempromosikan fasilitas, kurikulum
dan metode pengajaran. Tentu saja, kemudahan untuk dapat melanjutkan ke
pendidikan tinggi ke luar negeri juga diekspose. Sementara itu, lembaga penyelenggara
pendidikan swasta (Yayasan) mencoba mencari mitra pendidikan dari luar negeri,
yang juga sudah mengincar pasar Indonesia. Umumnya mereka menawarkan kepada
masyarakat sistem pendidikan luar negeri tetapi dengan nuansa nasional yang
kental. Maklum, penyelenggara pendidikan ini memiliki pengalaman yang panjang
dalam mengelola sekolah nasional. Strategi lain berebut kue dana pendidikan
masyarakat adalah dengan ‘mengelabui’. Penyelenggara pendidikan membangun
fasilitas yang modern, mengganti nama sekolah, tetapi menerapkan sistem
pendidikan nasional.
Pada tahun 2003, pemerintah
pemerintah merespon fenomena komersialisasi dan globalisasi dalam aspek
pendidikan Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional No 20 tahun 2003. Pemerintah memanfaatkan undang-undang ini
sebagai pedang bermata dua. Satu alat untuk merespon dua situasi berbeda. Di
satu sisi, melalui Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, pemerintah
mengubah sistem pendidikan untuk merespon fenomena globalisasi pendidikan. Di
sisi lain, dengan undang-undang ini pemerintah dapat menertibkan
sekolah-sekolah yang tidak jelas kategorinya tetapi ‘menyesatkan’ pemahaman
masyarakat terhadap sekolah internasional.
Melalui Undang-Undang tersebut, pemerintah mengamanatkan
agar pemerintah dana pusat atau
pemerintah daerah menyelengarakan satuan pendidikan bertaraf internasional.
Undang-undang ini ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi untuk mengatur
maraknya sekolah dengan label
internasional sehingga masyarakat bisa membedakan dengan jelas sekolah
internasional yang sesungguhnya dan sekolah yang hanya menempelkan kata “international”
atau “global”. Di sisi lain, pemerintah merasa perlu untuk mengubah sistem
pendidikan di sekolah-sekolah Indonesia agar selaras dengan perkembangan
globalisasi.
Melalui Undang-Undang No 20
tahun 2003 pemerintah mendorong lahirnya sekolah bertaraf internasional,
terutama dari sekolah negeri. Ayat 3
undang-undang tersebut mengamanatkan: Pemerintah dan/atau pemerintah
daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua
jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf
internasional.
Dalam Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan No 7 Tahun 2010 secara jelas sekolah internasional
ditetapkan dengan nama Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Dalam peraturan
SBI didefinisikan sebagai satuan pendidikan yang telah memenuhi Standar Nasional
Pendidikan dan diperkaya dengan standar pendidikan negara maju. Negara maju yang
dimaksud adalah negara-negara yang tergabung OECD (Organization for Economic
Development) seperti Inggris, Amerika
Serikat, Australia, dan sebagainya.
Dengan demikian, SBI adalah sekolah yang
telah menjalankan sistem pendidikan nasional dengan baik, ditambahkan
dengan kurikulum luar negeri. Masyarakat luas mengenalnya sebagai sekolah
bertaraf internasional.
Maksud baik
pemerintah ini ternyata membuat kaget hampir semua lembaga sekolah negeri.
Mereka tidak siap. Pemerintah juga memahami hal itu. Oleh karenanya, pemerintah
merancang program rintisan dengan mendirikan Rintisan Sekolah Bertaraf
Internasional (RSBI).
#Sekolah Lokal Berkualitas Internasional: Resep Jitu Mengelola Sekolah Internasional (SPK) karya Capri Anjaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar